Selasa, 01 Juli 2014

Hadits Qudsi, marfu’, mauquf, dan maqthu’; mauquf bi hukmi marfu’ beserta statusnya



BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Kata Hadits sering juga disebut dengan istilah sunnah. Jumhur muhadditsin atau mayoritas Ahli Hadits mendefinisikan Hadits sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun pernyataan atau penetapan/taqrir (Kurnia dkk, 2002:111). Allah SWT disamping memerintahkan mengikuti Al Qur’an, juga memerintahkan mengikuti apapun yang diteladankan oleh Rasulullah SAW, yaitu hadits.
Syaikh taqiyuddin An Nabhani, sebagaimana dikutip Kurnia  menyatakan bahwa membatasi diri dengan Qur’an saja, tidak mengambil hadits, adalah pendapat orang-orang yang telah keluar dari agama Islam. dengan kata lain, rang yang ingkar terhadap hadits adalah kafir secara pasti, tanpa ada keraguan sedikitpun (2002:113). Hadits memiliki kedudukan yang urgen dalam syariat Islam terutama kedudukannya terhadap al Qur’an, diantaranya untuk memberikan perincian terhadap ayat-ayat yang global, mengkhususkan makna umum, membatasi makna yang mutlaq dalam ayat Al Qur’an, menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, serta menetapkan aturan-aturan yang tidak terdapat dalam Al Qur’an (Kurnia, 2002:114-116).
Mengingat pentingnya peran hadits tersebut, maka para ulama berusaha untuk menjaga sebaik mungkin Sunnah Nabi agar tidak tercampur dengan yang bukan berasal dari Nabi melalui ilmu hadits.

B.         Topik Pembahasan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Hadits qudsi, marfu’, mauquf, dan maqthu’; mauquf bi hukmi marfu’ beserta statusnya
2.      Perbedaan Hadits qudsi dan hadits nabawi serta al Qur’an


BAB II
PEMBAHASAN

A.        Hadits Qudsi
Hadits qudsi juga disebut hadits Ilahi, dan juga disebut hadits Rabbani. Yang dimaksud Hadits Qudsi adalah:
“Sesuatu yang dikabarkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri” (Rahman, 1974: 69)

 Menurut A Hassan, Qudsi secara etimologi artinya yang disandarkan kepada kesucian. Sedangkan secara terminology, dalam ilmu isnad, hadits qudsi bermakna Hadits yang dalam matannya terdapat pernyataan yang disandarkan kepada Allah SWT, atau hadits yang lafadz matannya sah dari Nabi SAW, tetapi maknanya dari Allah SWT kepada Nabi, dengan perantara ilham atau impian. Hadits qudsi ini sama seperti hadits lainnya mengenai keadaan sanad dan rawinya, yaitu ada yang shahih, juga ada yang sanadnya dla’if. Menurut perkiraan, dalam Kitab Al Ittihafatussunniyah, terdapat 833 hadits qudsi yang sahih, hasan, dan dlaif. Hadits qudsi tidak sama dengan Al Qur’an karena Al Quran itu matan dan lafadznya dari Allah (2002:311).
Contoh hadits qudsi  yang shahih diantaranya:
“Dari Rasulullah SAW telah berfirman Allah Azza wa Jalla: “berdermalah, niscaya aku akan balas derma atasmu”(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW tetapi matannya bersifat firman Allah, yaitu disandarkan kepada Allah SWT. Hadits tersebut dinilai shahih sanad dan matannya, karena diantara rawinya tidak ada yang lemah dan isinya tidak bertentangan dengan yang lain.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi dan Al Qur’an
Menurut Ibnu Allan, sebagaimana dikutip Rachman (1974), perbedaan Hadits Qudsi dan hadits Nabawi adalah pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
-              Qala ( yaqalu ) Allahu (Allah berfirman)
-              Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala (sebagaimana diriwayatkannya dari Allah SWT)
-              Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.
Sedangkan dalam hadits nabawi tidak terdapat seperti yang disebut diatas
Adapun perbedaan perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an yaitu:
-              Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
-              Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
-              Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
-              Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.

B.         Marfu’
Marfu’ secara etimologi berarti yang diangkat, yang disandarkan, yang dimajukan, yang dirangkaikan, atau yang disampaikan. sedangkan secara terminology artinya adalah Sabda atau perbuatan atau ketetapan atau sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW (Hassan, 2002:285). Adapun menurut Salim (1997: 98), marfu’ adalah setiap hadits yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuata, taqrir, atau sifat. Marfu’ bias berderajat shahih, hasan dan dlaif. Marfu’ terdiri dari dua macam, yaitu
1.          Tasrihan, atau disebut juga Haqiqatan, yang berarti dengan terang, yaitu yang isinya dengan jelas menunjukkan kepada marfu’. Marfu’ tasrihan dapat dijadikan dalil jika sanad dan matannya shah. Marfu’ tasrih terbagi lagi menjadi tasrih qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrir (ketetapan), dan marfu’ sifat (Hassan, 2002:285).

Contoh hadits marfu’ yang  Tasrih Qaulan:


“Dari Jabir, telah bersabda Nabi SAW: baik pekerti itu bertuah, dan buruk kelakuan itu sial”(HR Ibnu Asakir).

Disebut dengan marfu’ tashrih karena dengan jelas disebutkan bahwa ‘Rasulullah bersabda’.

Adapun contoh tasrih yang perbuatan/fi’lan:
“Dari Anas: Rasulullah SAW telah memerdekakan Shafiyah, dan beliau jadikan memerdekakannya itu sebagai mahar (HR Nasa’I)

Dan contoh tasrih yang taqrir:

“Dari Ibn Abbas, ia berkata: Kami pernah shalat dua rakaat setelah terbenam matahari, sedang Nabi melihat kami, tetapi beliau tidak memerintah kami, dan tidak melarang kami (HR Muslim)”

Contoh tasrih dari sifat nabi:


“berkata Bara’ bin Azib: adalah wajah Rasulullah SAW seperti pedang”(Syamail 18)





2.          Hukman. Atau mauquf bi hukmi marfu’ Artinya pada hukum, yaitu isinya tidak terang-terangan menunjukkan pada marfu’ tetapi dihukumi marfu’ karena bersandar pada beberapa hal yang menunjukkan bahwa itu merupakan sabda Nabi SAW (Hassan, 2002: 286)
Contoh hukman yang berdasarkan Qaul atau perkataan Nabi, misalnya


“Dari Umar, ia berkata:”doa itu terhenti antara langit dan bumi, tidak bias naik sedikitpun daripadanya sebelum dishalawatkan kepada Nabi”(HR Turmudzi).

Kalimat tersebut adalah ucapan Umar, seorang sahabat Nabi SAW, tentang doa yang tidak bias naik kecuali jika dishalawatkan atas Nabi, padahal hal itu merupakan perkara gaib, padahal urusan gaib ini tidak ada yang mengetahuinya selain Nabi dengan perantaraan wahyu. jadi, tentunya Umar tahu mengenai perihal terhentinya doa itu dari Nabi SAW. Oleh karena itu, ucapan Umar ini dianggap marfu’, tetapi pada hukum, karena susunannya tidak dengan jelas menerangkan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW (Hassan, 2002: 286)

Contoh hukman yang dari perbuatan:


“Bahwasanya Ali bin Abi Thalib pernah shalat kusuf 10 ruku’ dengan 4 sujud”(Al Muhalla 5:100)
                       
Shalat merupakan salah satu ibadah yang tidak dapat diketahui maknanya kecuali datangnya pasti dari Allah atau RasulNya, sedangkan dalam riwayat diatas dikatakan hanya Ali yang mengerjakan seperti tersebut, dengan demikian, tentulah Ali mengetahui perbuatan tersebut dari Rasul. hal ini disebut marfu’ pada hukum, Karena dzahirnya bukan Nabi yang melakukannya, tetapi Ali bin Abi Thalib, dan dia adalah seorang Shahabat. (Hassan, 2002: 287)
Contoh marfu’ hukman yang taqrir:

“Dari Anas Bin Malik, sesungguhnya pintu-pintu rumah Nabi SAW diketuk dengan jari-jari” (HR Bukhari)

menurut keterangan bahwa yang mengetuk pintu tersebut bukan Nabi, melainkan Sahabat-shahabat Nabi. Dalam riwayat ini tidak ditegaskan bahwa Rasulullah membenarkan perbuatan mereka. tetapi karena perbuatan itu sering dilakukan oleh shahabat sedangkan tidak ada teguran dari Nabi, maka yang demikian itu disebut bahwa Nabi mentaqrir perbuatan mereka.

Contoh marfu’ hukman dari sifat Nabi:



“Dari Ummi Athiyah, ia berkata:kami diperintah untuk mengeluarkan perempuan-perempuan muda, dan anak-anak dara dalam kurungan (untuk menghadiri khutbah hari raya)” (HR Bukhari 2:21)

Dalam riwayat diatas tidak disebut bahwa yang memerintah adalah Nabi SAW. perintah merupakan salah satu sifat dari yang memerintah, yaitu Nabi. Jadi, riwayat itu dianggap marfu’ tentang  sifat. Karena sifatnya tidak tegas, maka disebut marfu’ hukman (Hassan, 2002:289)
Selain lafadz                (kami telah diperintah), terdapat perkataan lain dari shahabat yang dianggap marfu’ tentang sifat hukman, diantaranya:
                  artinya, kami telah dilarang
                  artinya telah diwajibkan atas kami
                  artinya, telah diharamkan atas kami
                  artinya, telah diberi kelonggaran atas kami
Jika hadits tersebut diriwayatkan oleh sahabat, namun diceritakan leh seorang tabi’i, dan dia berkata:
                  artinya ia merafa’kannya (kepada Nabi)
                  artinya ia menyandarkannya (kepada Nabi)
                  artinya ia meriwayatkannya (kepada Nabi)
                  artinya ia sampaikannya (kepada Nabi)
                  artinya dengan meriwayatkannya (sampai Nabi)
maka semua lafadz tersebut menunjukkan bahwa riwayatnya menjadi marfu’
Jika seorang sahabat menyatakan:
                  artinya telah lalu perjalanan
                  artinya menurut perjalanan
                  artinya kami berbuat demikian di jaman Nabi
                  artinya kami berbuat demikian padahal Rasulullah masih hidup
Maka itu juga menunjukkan marfu’, begitu pula jika diakhir sanad ada sebutan                   (keadaannya dimarfu’kan), dan lafal lain yang sejenis (Hassan, 2002: 289-292)
Marfu’ hukman taqrir dan sifat dapat dijadikan dalil jika sudah shah. Adapun mengenai perihal Shahabat yang menafsirkan Al Qur’an, jika mengenai asbabun nuzul, dapat dikatakan marfu’. demikian pula jika keterangan Shahabat tentang hal yang bukan dari ijtihad atau pikirannya misalnya seperti tafsir ayat tentang hal yang gaib, jumhur ulama juga menganggap sebagai marfu’. Namun jika penafsiran tersebut berupa ijtihad shahabat sendiri, maka tidak dianggap marfu, namun mauquf. (Hassan, 2002: 292-294)
Untuk marfu’ hukman dari perkataan dan perbuatan masih perlu diperhatikan lagi. Jika ucapan atau perbuatannya memiliki landasan atau keterangan dalil syara’, maka dapat dikategorikan marfu’ kepada Nabi, seperti halnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan kejadian makhluk, khabar nabi terdahulu, hal kiamat, masalah pahala, siksa, dan ibadah. Namun jika perbuatan atau perkataan shahabat tersebut berasal dari ijtihadnya sendiri, maka tidak diangap marfu’. Contoh perkataan sahabat yang tidak dianggap marfu’:


“Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: “wal ‘aadiyaati dlabhan..”, ia berkata: itu maksudnya kuda…”


C.        Mauquf
Mauquf menurut bahasa berarti yang terhenti, sedangkan menurut istilah adalah perkataan atau perbuatan atau taqrir yang disandarkan kepada seorang shahabat Nabi SAW. Dalam lafadznya jelas disebtkan bahwa riwayat tersebut merupakan perkataan atau perbuatan shahabat. Sebagaimana hadits, riwayat mauquf juga ada yang shahih, hasan dan dlaif. Namun, riwayat mauquf tidak menjadi hujjah dalam agama (Hassan, 2002:297-298). Pembahasan mengenai mauquf berkaitan erat dengan pembahasan marfu’ dan beberapa hal tersebut telah banyak dibahas dalam pembahasan marfu’ sebelumnya.
Contoh riwayat mauquf:


“Dari Ubaidillah bin Ubaid bin Umair, ia berkata: Umar menyuruh kepada seorang anak laki-laki memilih antara ayah dan ibunya. Maka anak itu memilih ibunya, lalu ibunya membawa dia”


D.        Maqthu’
Al Maqthu’ artinya yang ddiputuskan atau yang terpotong. Dalam ilmu hadits, maqthu’ berarti perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada tabi’i atau orang dibawahnya (Salim, 1997:98). Sebagaimana mauquf, riwayat maqthu’ ada yang shah dan ada pula yang dlaif. Maqthu’ ini samasekali tidak dapat dijadikan hujjah dalam agama karena bukan sabda atau perbuatan Nabi (Hassan, 2002: 299). Walaupun bukan merupakan hadits, namun maqthu’ termasuk dalam pembahasan ilmu hadits karena bagaimanapun, kita juga perlu mengetahuinya agar kita lebih berhati-hati dalam menggunakan dalil sebagai landasan berbuat kita, terutama yang menyangkut masalah syariat.

Skema marfu’, mauquf, dan maqthu’

 





















BAB III
PENUTUP

A.            Kesimpulan
Hadits merupakan sumber hokum dalam Islam selain Al Qur’an, ijma’ dan qiyas. Sebagai sumber hokum, maka urgensi ilmu hadits sangatlah utama bagi umat Muhammad SAW.  Pembahasan dalam ilmu hadits sanngatlah banyak, diantaranya mengenai hadits qudsi, marfu’, mauquf, dan maqthu’.
Hadits Qudsi adalah hadits Rasulullah yang didalamnya Rasulullah menjelaskan bahwa maknanya dari Allah, namun lafadznya dari Nabi. Marfu’ merupakan riwayat yang disandarkan kepada Nabi, mauquf adalah riwayat yang disandarkan kepada shahabat, sedangkan mauquf adalah perkataan atau perbuatan thabi’i atau tabi’ut tabi’i..
Mauquf’, walaupun merupakan diwayat yang disandarkan pada perbuatan atau perkataan shahabat, namun juga terdapat mauquf yang dihukumi marfu’, yaitu apabila terdapat beberapa hal yang menunjukkan bahwa itu merupakan sabda Nabi SAW, misalnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan kejadian makhluk, khabar nabi terdahulu, hal kiamat, masalah pahala, siksa, dan ibadah.

B.             Saran
Sebagai umat Rasulullah, hendaknya kita berusaha untuk benar benar memahami segala ilmu yang berkaitan dengan syariat islam, diantaraya ilmu hadits, karena Rasulullah sebagai uswah yang wajib kita teladani sunnahnya dapat kita ketahui melalui pembelajaran dan penghayatan ilmu hadits.

Daftar Pustaka


Azami, Muhammad Musthofa. 2006. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemah Ali Musthafa Ya’kub). Jakarta: Pustaka Firdaus

Hassan, A.Qadir. 2002. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: CV Penerbit Diponegoro

Kurnia, Muhammad Rahmat; Jati, Muhammad Sigit Purnawan & Yusanto, Muhammad Ismail. 2002. Prinsip-prinsip Pemahaman Al Qur’an dan Hadits. Jakarta: Khairul Bayan

Rahman, Fatchur. 1970. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT Al Ma’arif

Salim, Amr Abdul Mun’im. 1997. Taysir Ulum Al Hadits lil Mubtadiin; Mudzakkiraat Ushul Al Hadits lil Mubtadiin (terjemah Abah Zacky). Kairo: Maktabah ibn Taymiyah






NB: Maap ye,,bahasa Arabnya cari sendiri...hehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar