BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata Hadits sering juga disebut dengan istilah sunnah.
Jumhur muhadditsin atau mayoritas Ahli Hadits mendefinisikan Hadits sebagai
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perbuatan,
perkataan, maupun pernyataan atau penetapan/taqrir (Kurnia dkk, 2002:111).
Allah SWT disamping memerintahkan mengikuti Al Qur’an, juga memerintahkan
mengikuti apapun yang diteladankan oleh Rasulullah SAW, yaitu hadits.
Syaikh taqiyuddin An Nabhani, sebagaimana dikutip Kurnia menyatakan bahwa membatasi diri dengan Qur’an
saja, tidak mengambil hadits, adalah pendapat orang-orang yang telah keluar
dari agama Islam. dengan kata lain, rang yang ingkar terhadap hadits adalah
kafir secara pasti, tanpa ada keraguan sedikitpun (2002:113). Hadits memiliki
kedudukan yang urgen dalam syariat Islam terutama kedudukannya terhadap al
Qur’an, diantaranya untuk memberikan perincian terhadap ayat-ayat yang global,
mengkhususkan makna umum, membatasi makna yang mutlaq dalam ayat Al Qur’an, menetapkan
dan memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, serta menetapkan
aturan-aturan yang tidak terdapat dalam Al Qur’an (Kurnia, 2002:114-116).
Mengingat pentingnya peran hadits tersebut, maka para
ulama berusaha untuk menjaga sebaik mungkin Sunnah Nabi agar tidak tercampur
dengan yang bukan berasal dari Nabi melalui ilmu hadits.
B.
Topik Pembahasan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.
Hadits qudsi, marfu’, mauquf,
dan maqthu’; mauquf bi hukmi marfu’ beserta statusnya
2.
Perbedaan Hadits qudsi dan
hadits nabawi serta al Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Qudsi
Hadits qudsi juga disebut hadits Ilahi, dan juga disebut
hadits Rabbani. Yang dimaksud Hadits Qudsi adalah:
“Sesuatu yang dikabarkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui
ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian
tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri” (Rahman, 1974: 69)
Menurut A Hassan,
Qudsi secara etimologi artinya yang disandarkan kepada kesucian. Sedangkan
secara terminology, dalam ilmu isnad, hadits qudsi bermakna Hadits yang dalam
matannya terdapat pernyataan yang disandarkan kepada Allah SWT, atau hadits
yang lafadz matannya sah dari Nabi SAW, tetapi maknanya dari Allah SWT kepada
Nabi, dengan perantara ilham atau impian. Hadits qudsi ini sama seperti hadits
lainnya mengenai keadaan sanad dan rawinya, yaitu ada yang shahih, juga ada
yang sanadnya dla’if. Menurut perkiraan, dalam Kitab Al Ittihafatussunniyah,
terdapat 833 hadits qudsi yang sahih, hasan, dan dlaif. Hadits qudsi tidak sama
dengan Al Qur’an karena Al Quran itu matan dan lafadznya dari Allah (2002:311).
Contoh hadits qudsi
yang shahih diantaranya:
“Dari Rasulullah SAW telah
berfirman Allah Azza wa Jalla: “berdermalah, niscaya aku akan balas derma
atasmu”(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW tetapi
matannya bersifat firman Allah, yaitu disandarkan kepada Allah SWT. Hadits
tersebut dinilai shahih sanad dan matannya, karena diantara rawinya tidak ada
yang lemah dan isinya tidak bertentangan dengan yang lain.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi dan Al Qur’an
Menurut Ibnu Allan, sebagaimana dikutip Rachman (1974),
perbedaan Hadits Qudsi dan hadits Nabawi adalah pada hadits qudsi biasanya
diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
-
Qala ( yaqalu ) Allahu (Allah berfirman)
-
Fima yarwihi 'anillahi
Tabaraka wa Ta'ala (sebagaimana diriwayatkannya
dari Allah SWT)
-
Lafadz lafadz lain yang semakna
dengan apa yang tersebut diatas.
Sedangkan dalam hadits nabawi tidak terdapat seperti yang disebut
diatas
Adapun perbedaan perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an yaitu:
-
Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an
adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
-
Ketentuan hukum yang berlaku
bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh,
membaca pada orang yang berhadats, dll.
-
Setiap huruf yang dibaca dari
Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
-
Meriwayatkan Al-Qur'an tidak
boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits
qudsi tidak demikian.
B.
Marfu’
Marfu’ secara etimologi berarti yang diangkat, yang
disandarkan, yang dimajukan, yang dirangkaikan, atau yang disampaikan.
sedangkan secara terminology artinya adalah Sabda atau perbuatan atau ketetapan
atau sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW (Hassan, 2002:285). Adapun menurut
Salim (1997: 98), marfu’ adalah setiap hadits yang dinisbatkan kepada Nabi SAW,
baik perkataan, perbuata, taqrir, atau sifat. Marfu’ bias berderajat shahih,
hasan dan dlaif. Marfu’ terdiri dari dua macam, yaitu
1.
Tasrihan, atau disebut juga Haqiqatan, yang berarti dengan terang,
yaitu yang isinya dengan jelas menunjukkan kepada marfu’. Marfu’ tasrihan dapat dijadikan dalil jika sanad dan
matannya shah. Marfu’ tasrih terbagi lagi menjadi tasrih qaul (perkataan), fi’il
(perbuatan), taqrir (ketetapan), dan
marfu’ sifat (Hassan, 2002:285).
Contoh hadits marfu’ yang Tasrih Qaulan:
“Dari Jabir, telah bersabda
Nabi SAW: baik pekerti itu bertuah, dan buruk kelakuan itu sial”(HR Ibnu
Asakir).
Disebut dengan marfu’ tashrih karena dengan jelas
disebutkan bahwa ‘Rasulullah bersabda’.
Adapun contoh tasrih yang perbuatan/fi’lan:
“Dari Anas: Rasulullah SAW
telah memerdekakan Shafiyah, dan beliau jadikan memerdekakannya itu sebagai
mahar (HR Nasa’I)
Dan contoh tasrih yang taqrir:
“Dari Ibn Abbas, ia
berkata: Kami pernah shalat dua rakaat setelah terbenam matahari, sedang Nabi
melihat kami, tetapi beliau tidak memerintah kami, dan tidak melarang kami (HR
Muslim)”
Contoh tasrih dari sifat nabi:
“berkata Bara’ bin Azib:
adalah wajah Rasulullah SAW seperti pedang”(Syamail 18)
2.
Hukman. Atau mauquf bi hukmi marfu’ Artinya
pada hukum, yaitu isinya tidak terang-terangan menunjukkan pada marfu’ tetapi
dihukumi marfu’ karena bersandar pada beberapa hal yang menunjukkan bahwa itu
merupakan sabda Nabi SAW (Hassan, 2002: 286)
Contoh hukman yang berdasarkan Qaul atau perkataan Nabi,
misalnya
“Dari Umar, ia
berkata:”doa itu terhenti antara langit dan bumi, tidak bias naik sedikitpun
daripadanya sebelum dishalawatkan kepada Nabi”(HR Turmudzi).
Kalimat tersebut adalah ucapan Umar, seorang sahabat
Nabi SAW, tentang doa yang tidak bias naik kecuali jika dishalawatkan atas
Nabi, padahal hal itu merupakan perkara gaib, padahal urusan gaib ini tidak ada
yang mengetahuinya selain Nabi dengan perantaraan wahyu. jadi, tentunya Umar
tahu mengenai perihal terhentinya doa itu dari Nabi SAW. Oleh karena itu,
ucapan Umar ini dianggap marfu’, tetapi pada hukum, karena susunannya tidak
dengan jelas menerangkan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW (Hassan, 2002: 286)
Contoh hukman yang dari perbuatan:
“Bahwasanya Ali bin Abi
Thalib pernah shalat kusuf 10 ruku’ dengan 4 sujud”(Al Muhalla 5:100)
Shalat merupakan salah satu ibadah yang tidak dapat
diketahui maknanya kecuali datangnya pasti dari Allah atau RasulNya, sedangkan
dalam riwayat diatas dikatakan hanya Ali yang mengerjakan seperti tersebut,
dengan demikian, tentulah Ali mengetahui perbuatan tersebut dari Rasul. hal ini
disebut marfu’ pada hukum, Karena dzahirnya bukan Nabi yang melakukannya,
tetapi Ali bin Abi Thalib, dan dia adalah seorang Shahabat. (Hassan, 2002: 287)
Contoh marfu’ hukman yang taqrir:
“Dari Anas Bin Malik,
sesungguhnya pintu-pintu rumah Nabi SAW diketuk dengan jari-jari” (HR Bukhari)
menurut keterangan bahwa yang mengetuk pintu tersebut
bukan Nabi, melainkan Sahabat-shahabat Nabi. Dalam riwayat ini tidak ditegaskan
bahwa Rasulullah membenarkan perbuatan mereka. tetapi karena perbuatan itu
sering dilakukan oleh shahabat sedangkan tidak ada teguran dari Nabi, maka yang
demikian itu disebut bahwa Nabi mentaqrir perbuatan mereka.
Contoh marfu’ hukman dari sifat Nabi:
“Dari Ummi Athiyah, ia
berkata:kami diperintah untuk mengeluarkan perempuan-perempuan muda, dan
anak-anak dara dalam kurungan (untuk menghadiri khutbah hari raya)” (HR Bukhari
2:21)
Dalam riwayat diatas tidak disebut bahwa yang memerintah
adalah Nabi SAW. perintah merupakan salah satu sifat dari yang memerintah,
yaitu Nabi. Jadi, riwayat itu dianggap marfu’ tentang sifat. Karena sifatnya tidak tegas, maka
disebut marfu’ hukman (Hassan, 2002:289)
Selain lafadz (kami telah diperintah),
terdapat perkataan lain dari shahabat yang dianggap marfu’ tentang sifat
hukman, diantaranya:
artinya,
kami telah dilarang
artinya
telah diwajibkan atas kami
artinya,
telah diharamkan atas kami
artinya,
telah diberi kelonggaran atas kami
Jika hadits tersebut diriwayatkan oleh sahabat, namun
diceritakan leh seorang tabi’i, dan dia berkata:
artinya
ia merafa’kannya (kepada Nabi)
artinya
ia menyandarkannya (kepada Nabi)
artinya
ia meriwayatkannya (kepada Nabi)
artinya
ia sampaikannya (kepada Nabi)
artinya
dengan meriwayatkannya (sampai Nabi)
maka semua lafadz tersebut menunjukkan bahwa riwayatnya
menjadi marfu’
Jika seorang sahabat menyatakan:
artinya
telah lalu perjalanan
artinya
menurut perjalanan
artinya
kami berbuat demikian di jaman Nabi
artinya
kami berbuat demikian padahal Rasulullah masih hidup
Maka itu juga menunjukkan marfu’, begitu pula jika
diakhir sanad ada sebutan (keadaannya dimarfu’kan), dan lafal lain
yang sejenis (Hassan, 2002: 289-292)
Marfu’ hukman taqrir dan sifat dapat dijadikan dalil
jika sudah shah. Adapun mengenai perihal Shahabat yang menafsirkan Al Qur’an,
jika mengenai asbabun nuzul, dapat dikatakan marfu’. demikian pula jika
keterangan Shahabat tentang hal yang bukan dari ijtihad atau pikirannya misalnya
seperti tafsir ayat tentang hal yang gaib, jumhur ulama juga menganggap sebagai
marfu’. Namun jika penafsiran tersebut berupa ijtihad shahabat sendiri, maka
tidak dianggap marfu, namun mauquf. (Hassan, 2002: 292-294)
Untuk marfu’ hukman dari perkataan dan perbuatan masih
perlu diperhatikan lagi. Jika ucapan atau perbuatannya memiliki landasan atau
keterangan dalil syara’, maka dapat dikategorikan marfu’ kepada Nabi, seperti
halnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan kejadian makhluk, khabar nabi
terdahulu, hal kiamat, masalah pahala, siksa, dan ibadah. Namun jika perbuatan
atau perkataan shahabat tersebut berasal dari ijtihadnya sendiri, maka tidak
diangap marfu’. Contoh perkataan sahabat yang tidak dianggap marfu’:
“Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: “wal ‘aadiyaati dlabhan..”,
ia berkata: itu maksudnya kuda…”
C.
Mauquf
Mauquf menurut bahasa berarti yang terhenti, sedangkan
menurut istilah adalah perkataan atau perbuatan atau taqrir yang disandarkan
kepada seorang shahabat Nabi SAW. Dalam lafadznya jelas disebtkan bahwa riwayat
tersebut merupakan perkataan atau perbuatan shahabat. Sebagaimana hadits,
riwayat mauquf juga ada yang shahih, hasan dan dlaif. Namun, riwayat mauquf
tidak menjadi hujjah dalam agama (Hassan, 2002:297-298). Pembahasan mengenai
mauquf berkaitan erat dengan pembahasan marfu’ dan beberapa hal tersebut telah
banyak dibahas dalam pembahasan marfu’ sebelumnya.
Contoh riwayat mauquf:
“Dari Ubaidillah bin Ubaid bin Umair, ia berkata: Umar menyuruh
kepada seorang anak laki-laki memilih antara ayah dan ibunya. Maka anak itu
memilih ibunya, lalu ibunya membawa dia”
D.
Maqthu’
Al Maqthu’ artinya yang ddiputuskan atau yang terpotong.
Dalam ilmu hadits, maqthu’ berarti perkataan, perbuatan, atau taqrir yang
disandarkan kepada tabi’i atau orang dibawahnya (Salim, 1997:98). Sebagaimana
mauquf, riwayat maqthu’ ada yang shah dan ada pula yang dlaif. Maqthu’ ini
samasekali tidak dapat dijadikan hujjah dalam agama karena bukan sabda atau
perbuatan Nabi (Hassan, 2002: 299). Walaupun bukan merupakan hadits, namun
maqthu’ termasuk dalam pembahasan ilmu hadits karena bagaimanapun, kita juga
perlu mengetahuinya agar kita lebih berhati-hati dalam menggunakan dalil
sebagai landasan berbuat kita, terutama yang menyangkut masalah syariat.
Skema marfu’, mauquf, dan maqthu’

BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadits merupakan sumber hokum dalam Islam selain Al
Qur’an, ijma’ dan qiyas. Sebagai sumber hokum, maka urgensi ilmu hadits
sangatlah utama bagi umat Muhammad SAW.
Pembahasan dalam ilmu hadits sanngatlah banyak, diantaranya mengenai
hadits qudsi, marfu’, mauquf, dan maqthu’.
Hadits Qudsi adalah hadits Rasulullah yang didalamnya
Rasulullah menjelaskan bahwa maknanya dari Allah, namun lafadznya dari Nabi.
Marfu’ merupakan riwayat yang disandarkan kepada Nabi, mauquf adalah riwayat
yang disandarkan kepada shahabat, sedangkan mauquf adalah perkataan atau
perbuatan thabi’i atau tabi’ut tabi’i..
Mauquf’, walaupun merupakan diwayat yang disandarkan
pada perbuatan atau perkataan shahabat, namun juga terdapat mauquf yang
dihukumi marfu’, yaitu apabila terdapat beberapa hal yang menunjukkan bahwa itu
merupakan sabda Nabi SAW, misalnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan
kejadian makhluk, khabar nabi terdahulu, hal kiamat, masalah pahala, siksa, dan
ibadah.
B.
Saran
Sebagai umat
Rasulullah, hendaknya kita berusaha untuk benar benar memahami segala ilmu yang
berkaitan dengan syariat islam, diantaraya ilmu hadits, karena Rasulullah
sebagai uswah yang wajib kita teladani sunnahnya dapat kita ketahui melalui pembelajaran
dan penghayatan ilmu hadits.
Daftar Pustaka
Azami, Muhammad Musthofa. 2006. Hadits Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya (terjemah Ali Musthafa Ya’kub). Jakarta: Pustaka Firdaus
Hassan, A.Qadir. 2002. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: CV Penerbit
Diponegoro
Kurnia, Muhammad Rahmat; Jati, Muhammad Sigit Purnawan &
Yusanto, Muhammad Ismail. 2002. Prinsip-prinsip
Pemahaman Al Qur’an dan Hadits. Jakarta:
Khairul Bayan
Rahman, Fatchur. 1970.
Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung:
PT Al Ma’arif
Salim, Amr Abdul Mun’im. 1997. Taysir Ulum Al Hadits lil
Mubtadiin; Mudzakkiraat Ushul Al Hadits lil Mubtadiin (terjemah Abah Zacky). Kairo:
Maktabah ibn Taymiyah
NB: Maap ye,,bahasa Arabnya cari sendiri...hehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar