Senin, 09 Januari 2012
Kepemimpinan Dalam Perspektif MMT/TQM Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep kepemimpinan masih menjadi suatu misteri dan belum ada kesepakatan diantara para ahli tentang apa sebenarnya kepemimpinan dan bagaimana cara menganalisa kepemimpinan. Kepemimpinan perlu memadukan beberapa konsep agar kepemimpinan yang ideal dapat tercapai. Perilaku pemimpin yang positif dan cukup ideal dapat mendorong kelompok dalam mengarahkan dan memotivasi individu untuk bekerjasama dalam kelompok dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.
Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam semua kelompok dalam masyarakat, baik itu keluarga, perkumpulan olah raga, unit kerja, maupun organisasi lainnya, terdapat seseorang yang paling berpengaruh dan dapat dikatakan sebagai pemimpin. Organisasi akan kurang efisien tanpa pemimpin, bahkan tidak mampu mencapai tujuan yang ditentukan. Kepemipinan menghadapi berbagai faktor dalam organisasi seperti struktur, tatanan, koalisi, kekuasaan dan kondisi lingkungan, disamping itu, kepemimpinan dapat menjadi alat pemecahan terhadap beberapa persoalan dalam organisasi. Karena pentingnya kepemimpinan inilah, maka kepemimpinan menjadi perhatian para ahli.
Pentingnya kepemimpinan inilah yang perlu dipahami lebih dalam, khususnya kepemimpinan mutu pendidikan untuk mengantarkan seklah pada revolusi mutu.
B. Topik Pembahasan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan pendidikan mutu?
2. Apa saja peran dan fungsi Pemimpin pendidikan?
3. Apakah Kepemimpinan sekolah Kaizen itu?
BAB II
KEPEMIMPINAN
DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN MUTU TERPADU PENDIDIKAN
A. Kepemimpinan Pendidikan Mutu
Manusia merupakan makhluk social yang diciptakan untuk berhubungan satu sama lain dalam mencapai tujuan hidupnya. Dalam hubungannya dengan sesame itulah, manusia membutuhkan pemimpin yang membawa kepada pencapaian tujuan demi terwujudnya kebaikan. Berbagai perubahan masyarakat dan krisis multidimensional yang melanda, ditandai dengan sulitnya menemukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan.
Kepemimpinan merupakan sebuah fenomena universal. Ia merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan menurut Tannenbaum, Wesler dan Massarik dalam Wahjosumidjo (2002: 17) adalah kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain dengan sengaja, dalam suatu situasi melalui proses komunikasi, untuk mencapai tujuan atau tujuan-tujuan tertentu. Adapun menurut Ivanchevich (1995: 334 ), kepemimpinan adalah suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu. Sutisna (1993), dalam Mulyasa (2004:107) merumuskan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha kearah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Mulyasa juga menyebutkan bahwa menurut Supardi (1988) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mengerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbin, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum bila perlu, serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien. Sedangkan menurut Atmosudirdjo dalam Fattah (2004:25) menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu bentuk persuasi seni (art) pembinaan kelompok-kelompok orang-orang tertentu, biasanya melalui human relation dan motivasi yang tepat.
Penelitian Peters dan
Seorang pemimpin mutu didefinisikan sebagai orang yang mengukur keberhasilannya dengan keberhasilan individu-individu di dalam organisasi. Piramida kepemimnan mutu dibawah ini menggambarkan perubahan peran para professional pendidikan sekarang ini (Arcaro, 2005:17).
Visi bagi setiap system pendidikan dibangun oleh dewan sekolah dan pengawas berdasar masukan dari komunitas dan staf. Pemimpin mutu dalam pendidikan memiliki kemampuan dalam menggambarkan visi dari para stafnya di sekolah tersebut dan mengilhami para staf untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mewujudkan visi tersebut. Inilah yang disebut konsep tanggung jawab bersama dan pemberdayaan (Arcaro, 2005:17). Pemberdayaan dan tanggung jawab disini berarti orang didorong untuk terbuka, kreatif dan inovatif dalam menemukan cara kerja baru untuk mencapai visinya didalam system yang memungkinkan setiap orang mencapai visi dalam keseluruhan system. Definisi ini menakui adanya interdependensi antara personil dan fungsi. Dalam hal ini pemimpin mutu mendorong stafnya untuk mencapai tujuan utama organiasi, yaitu perbaikan mutu berkelanjutan (Arcaro, 2005:18)
Otritas dan kekuasaan sudah tidak lagi ‘digunakan’ dalam kamus kepemimpinan mutu. Dalam piramida kepemimpinan mutu, dewan sekolah, administrator dan pengawas harus memberikan sumber daya yang diperlukan staf dan guru untuk menunjang keberhasilan. kendati toritas dan kekuasaan sudah tidak dipakai lagi, namun dewan sekolah, pengawas dan administrator tetap memiliki kewengangan membuat keputusan yang mencerminkan kepedulian, pendapat dan sikap seluruh staf dan customer.
Dalam piramida kepeimpinan mutu, setiap orang merupakan pemimpin. Untuk mencapai visi mutu pendidikan, pemimpin sekolah harus dapat memberdayakan para guru dan memberi mereka wewenang seluas-luasnya untuk meningkatkan pembelajaran. Mereka diberi keleluasaan dan otonomi dalam bertindak (Sallis, 2008: 174). guru harus mengajak siswanya untuk memandang dirinya sebagai pemilik visi dan mendengarkan dan bertindak berdasarkan gaasan inovatif dan kreatif siswa guna mencapai visi tersebut. Sebagai pemimpin mutu, setiap orang bertanggung jawab menghilangkan kendala pencapaian kinerja tinggi. Visi sebagai pemberi arah bagi setap orang untuk mengikuti, dan setelah arahan diketahui, selanjutnya adalah menghilangkan rintangan yang menghalangi ssorang untuk menjadi seseorang berkinerja tinggi (Arcaro, 2005:20).
Dalam kaitannya dengan pemberdayaan guru, pemimpin memiliki peran penting dalam memandu guru dan para administrator untuk bekerja sama dalam satu tim. Pemimpin harus memiliki criteria berikut ini;
1. Melibatkan para guru dan seluruh staf dalam aktivitas penyelesaian masalah, dengan meted ilmiah, prinsip-prinsip mutu statistic dan kontrl proses
2. Memilih untuk meminta pendapat mereka tentang berbagai hal dan tentang bagaimana menjalankan tugas dan tidak sekedar menyampaikan bagaimana seharusnya bersikap
3. Menyampaikan sebanyak mungkin informasi manajemen untuk membantu pengembangan dan peningkatan komitmen mereka
4. Menanyakan pendapat staf tentang system dan prosedur mana saja yang menghalangi mereka dalam menyampaikan mutu kepada pelanggan, pelajar, orang tua maupun partner kerja
5. Memahami bahwa keinginan untuk meningkatkan mutu tidak sesuai dengan manajemen atas ke bawah (top-down)
6. Memindahkan tanggung jawab dan control pengembangan tenaga profesinal langsung pada guru dan pekerja teknis
7. Mengimplementasikan komunikasi yang sistematis dan kontinu diantara setiap orang yang terlibat dalam sekolah
8. Mengembangan kemamuan pemecahan masalah serta negosiasi dalam rangka menyelesaikan konflik
9. Memiliki sikap membantu tanpa harus mengetahui semua jawaban bagi setiap masalah dan tanpa merasa rendah diri
10. Menyediakan materi pembelajaran konsep mutu, seperti membangun tim, manajemen proses, layanan pelanggan, komunikasi serta kepemimpinan
11. Memberikan teladan yang baik.
12. Belajar untuk berperan sebagai pelatih, bukan sebagai bos
13. Memberikan otonomi dan berani mengambil resiko
14. Memberikan perhatian yang berimbang dalam menyediakan mutu bagi pelanggan internal dan eksternal
B. Peran Pemimpin Pendidikan
Peran pemimpin dalam manajemen mutu sangat signifikan. Komitmen terhadap mutu harus menjadi peran utama bagi pemimpin. Menurut Peters dan
1. Kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada para staf, pelajar dan komunitas yang lebih luas. Manajer harus memberi arahan, visi dan inspirasi. Mentalitas yang menganggap dirinya bos harus dirubah menjadi pendukung dan pemimpin staf.
2. Dekat dan untuk pelanggan pendidikan, yakni pelajar. Hal ini mencerminkan bahwa institusi memiliki focus yang jelas terhada pelanggan utamanya.
3. Pemimpin harus melakukan inovasi diantara stafnya dan bersiap mengantisipasi kegagalan yang merintangi inovasi tersebut.
4. Menciptakan rasa kekeluargaan
5. Memiliki sifat-sifat personal yang dibutuhkan, yaitu ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme.
Pemimpin pendidikan memiliki fungsi utama sebagai berikut:
1. Memiliki visi mutu terpadu bagi institusi
2. Memiliki komitmen yang jelas terhadap proses peningkatan mutu. Komitmen memerlukan antusiasme dan tak henti terhadap pemberdayaan mutu, selalu menghendaki kemajuan dengan metode dan cara yang baru (Spanbauer dalam Sallis, 2008:175)
3. Mengkomunikasikan pesan mutu
4. Memastikan kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan praktek intitusi
5. Mengarahkan perkembangan karyawan
6. Berhati-hati dengan tidak menyalahkan orang lain tanpa bukti yang jelas
7. Memimpin inovasi dalam nstitusi
8. Mampu memastikan bahwa struktur organisasi secara jelas telah mendefinisikan tanggung jawab dan mampu memersiapkan delegasi yang tepat
9. Memiliki komitmen untuk menghilangkan rintangan, baik organisasional maupun cultural
10. Membangun tim yang efektif
11. Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk mengawali dan mengevaluasi kesuksesan
(Sallis, 2008:173-174)
C. Kepemimpinan Sekolah Kaizen
Kaizen atau continous improvement adalah aktivitas perubahan yang dilakukan terus menerus untuk meningkatkan apa yang telah dicapai ke arah yang lebih baik. Pemimpin sekolah Kaizen akan berperan sebagai pembimbing, komunikator, pelatih, motivator, dan sumber yang bisa digunakan oleh timnya. ia lebih memperhatikan bagaimana guru dan stafnya bekerja, bukan hanya memberikan perhatian pada apa yang dihasilkan timnya. Kemampuan dan keahlian kepala sekolah Kaizen harus sesuai dengan peranannya yang berpusat pada penggerakan dan pemberdayaan warga sekolah. Keberhasilan pemimpin sekolah Kaizen lebih diekspresikan bagaimana dia bisa memenuhi tanggung jawabnya pada tim agar meraih standar kualitatif dan kuantitatif (Danim, 2008:225).
Kepemimpinan Kaizen di lembaga sekolah akan mendorong optimalisasi pemberdayaan sumber daya sekolah. Di dalamnya mengintegral tugas-tugas manajemen sekolah Kaizen yang idealnya mampu memenuhi tuntutan pasar dengan keunggulan kompetitif, setidaknya tuntutan masyarakat local akan pendidikan. Dalam kerangka pemberdayaan ini, kepala sekolah Kaizen harus mampu melakukan perubahan perilaku manajerial seperti dikemukakan oleh Tony Barnes (1998) dalam Danim (2008:226) berikut ini:
Dari | Menjadi |
Hierarki | Jaringan kerja dan perampingan |
Pemecahan masalah secara linier dan berurutan | Pemecahan masalah secara pararel dan serempak |
Tugas-tugas vertical di dalam unit-unit fungsional | Tugas-tugas horizontal dan kerja sam antar fungsi |
Isi | Proses |
Kebenaran absolute berdasarkan hokum dan prinsip yang tidak fleksibel | Prakiraan-prakiraan dinamis yang berdasarkan sifat mendua dan paradoks |
Manajer pemimpin dan para pekerja mengikuti | Pekerja diberdayakan dan diberi fasilitas untuk mengadakan inovasi dan memprakarsai perubahan |
Teknik-teknik tunggal | Sintesis holistis |
Perusahaan sebagai mesin dengan penekanan keras pada strategi, struktur dan sistem | Perusahaan sebagai organisme dengan penekanan lunak pada |
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepemimpinan dalam Manajemen berbasis mutu mengedepankan pemberdayaan para guru dan karyawan sekolah untuk mengerahkan segenap kemampuan dan inovasinya dalam mencapai tujuan sekolah, menempatkan pemimpin bukan sebagai bos, namun sebagai pendukung dan mtivator bawahannya. Seorang pemimpin mutu didefinisikan sebagai orang yang mengukur keberhasilannya dengan keberhasilan individu-individu di dalam organisasi.
B. Saran
Pesatnya perkembangan informasi dan tuntutan kemajuan zaman menuntut pihak-pihak yang terkait dengan perkembangan sekolah untuk melakukan yang terbaik untuk sekolah. Untuk itu, paradigma kepemimpinan sekolah yang tradisional tampaknya sudah perlu dirubah menjadi kepemimpinan mutu untuk mengadakan perbaikan kntinu pada manajemen sekolah.
Daftar Pustaka
Arcaro, Jerome S. 2005. Pendidikan Berbasis Mutu.
Danim, Sudarwan. 2008. Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik.
Fattah, Nanang. 2004. Landasan Manajemen Pendidikan.
Ivanchevich, John. M; Donely Jr., James H; Gibson, James L. 1995.
Purwanto, Ngalim. 2004. Administrasi dan Supervisi Pendidikan.
Sallis, Edward. 2008. Total Quality Management in Education. alih bahasa lehAhmad Ali Riyadi & Fahrurroozi. Ygyakarta: Ircisod
Tunggal, Amin Widjaja. 1993. Manajemen, Suatu Pengantar.
Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahan.
ringkasan aliran-aliran dalam filsafat pendidikan
- Pendidikan dalam idealisme berusaha agar seseorang dapat mencapai kesempurnaan dirinya
- Kurikulum dalam idealisme bersifat tetap. Dalam Islam, Syariat menjadi inti kurikulum
- Pendidik berperan sebagai pengisi akal murid dengan hakikat pengetahuan yang tepat
- Menurut idealisme, belajar adalah mengembangkan pikiran sebagai substansi spiritual
- Tujuan akhir pendidikan adalah menuju nilai yang kekal tak terbatas, yang dalam Islam terealisasi dalam Ketetapan Allah
- Guru paling alamiah dari seorang anak adalah kedua orang tuanya
- Pendidikan disesuaikan dengan perkembangan alam
- Alam diperkenalkan sebagai objek studi secara langsung
- Pendidikan berasal dari alam dan barang, dan mengembangkan akal dengan observasi
- Pragmatisme mengakui bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan moralitas dan spiritualitas
- Manusia ideal adalah manusia yang mampu merealisasikan utilitas dirinya
- Pengalaman digunakan sebagai upaya mencapai kebenaran hakiki
- Pertumbuhan pengetahuan dipenuhi dengan jalan pengalaman yang tidak mengenal batas akhir
- Pragmatisme tidak membedakan antara materi pengajaran dengan metode
- Guru tidak boleh membatasi kreatifitas murid
- Pragmatisme mempercayai perbedaan kecerdasan individual
- Aliran ini mementingkan individu, sehingga dalam pendidikan dituntut metode yang beraneka macam
- Eksistensialisme percaya bahwa dengan ilmu dapat memecahkan berbagai persoalan
- Aliran ini tidak membatasi murid untuk berpatokan pada buku atau sumber yang ditetapkan saja
- Individu diberi kebebasan mengembangkan potensinya secara maksimal
- Essensialisme memandang pendidikan harus berpijak pada nilai yang jelas
- Kurikulum hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat
- Dunia dan seisinya ini dikuasai oleh Sesuatu yang tiada cela
- Progresivisme kurang menyetujui pendidikan yang bercorak otoriter
- Progresivisme menghargai kemampuan berpikir dapat menumbuhkan kemajuan berpikir
- Progresivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak absolutisme dan otoritarisme dan segala bentuknya
- Progresivisme yang meletakkan dasar pada penghormatan bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi
- Rekonstruksionisme berpandangan bahwa pendidikan merupakan lembaga utama untuk melakukan perubahan social, ekonomi dan politik
- Rekonstruksionisme mengembangkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
- Rekonstruksionisme menggunakan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusunan program untuk melakukan perbaikan masyarakat.
- Kurikulum dalam rekonstruksionisme berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan.
- Guru harus membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, mambatu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya
AKSIOLOGI SAINS ISLAM DAN BARAT
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu merupakan hasil karya perorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat, dengan kata lain, ilmu diciptakan oleh perseorangan dan bersifat individual, namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat social (Suriasumantri, 1995:237). Menurut Sondang P Siagian dalam Ahmad Tafsir (2007: 25), ilmu adalah suatu objek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, rumus, yang melalui percobaan sistematis dan dilakukan berulang kali, telah teruji kebenarannya; prinsip-prinsip, dalil-dalil, rumus-rumus mana dapat diajarkan dan dipelajari. Dengan adanya kemajuan di bidang keilmuan, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih cepat dan lebih mudah dilakukan. Mohammad Hatta mendefinisikan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hokum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menrut kedudkannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam (Kallsolt, 2004:15)
Saat ini ilmu bahkan telah berada di ambang kemajuan yang teramat pesat, sehingga bahkan mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi, ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan juga dapat mungkin merubah hakikat kemanusiaan. ia bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan mungkin dapat mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri (Suriasumantri, 1995:231).
Filsafat sebagai kumpulan teori filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia pemikiran. selain itu, filsafat juga dipandang sebagai pandangan hidup yang berfungsi mirip seperti agama. Disinilah kemudian filsafat sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik secara lengkap tentang seluruh realitas, memberi manfaat dengan mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh dapat dipahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu (Kallsolt, 2004:21).
A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios, yang berarti nilai dan logos yang berarti teori, jadi aksiologi adalah teori tentang nilai (Salam, 1997:168). Menurut Bramel, aksiologi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama, moral conduct, yakni tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika. kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan. ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik (Jalaluddin, 1997: 106). Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kallsolt, 2004:318). Tafsir (2007: 25) berpendapat bahwa aksiologi adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mulai dari klasifikasinya, kemudian dengan melihat tujuan pengetahuan itu sendiri, akhirnya dilihat perkembangannya. Adapun Suriasumantri menyatakan bahwa aksiologi merupakan nilai kegunaan ilmu, dan untuk apa ilmu itu dipergunakan. pertanyaan landasan aksiologis yaitu, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? bagaimana korelasi antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral? (Suriasumantri, 1995:33). Objek telaah aksiologi adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas milai dari klasifikasinya, tujuan pengetahuan serta perkembangannya, jadi,yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan, bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika, bagaimana penentuan objek yang diteliti secara moral, bagaimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral (Tafsir, 2007:11).
Dalam penerapannya, ilmu dapat dibedakan menjadi (Achmadi, 2004:28):
1. Ilmu murni (pure science), yaitu ilmu tersebut hanya murni bermanfaat untuk ilmu itu sendiri dan berorientasi pada teoritisasi, dalam arti ilmu pengetahuan murni tersebut terutama bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak yakni untuk mempertinggi mutunya
2. Ilmu praktis (applied science). Ilmu tersebut praktis langsung dapat diterapkan kepada masyarakat karena ilmu itu sendiri betujuan untuk mempergunakan hal ikhwal ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat banyak dan dilakukan untuk membantu masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya
3. Ilmu campuran,yaitu ilmu yang selain ilmu murni juga merupakan ilmu terapan praktis karena dapat langsung dipergunakan dalam kehidupan masyarakat umum.
Sedangkan dalam fungsi kerjanya, ilmu dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Ilmu teoritis rasional, misalnya dogmatis hukum
2. Ilmu empiris praktis, misalnya dalam pekerjaan sosial atau dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
3. Ilmu teoritis empiris, yaitu yang menggabungkan keduanya, dengan menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.
Dari beberapa definisi aksiologi diatas, terlihat bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika (Tafsir, 2007:165).
B. Aksiologi Sains Barat
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan beragam kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun selain itu, di pihak lain ilmu juga dapat berakibat sebaliknya yaitu membawa kehancuran dan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada dasarnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan apakah berkaitan erat dengan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai moral dan agama sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus (1473-1543) mengemukakan teori bumi yang berputar mengelilingi matahari, sedangkan ajaran agama pada saat itu menilai sebaliknya. Disitulah timbul konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik, yang akhirnya berujung pada pengadilan Galileo (1564-1642) yang dipaksa mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan Inkuisisi yang berlangsung selama kurang lebih dua setengah abad ini mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini, para ilmuwan Barat berjuang untuk menegakkan ilmu berdasar penafsiran alam sebagaimana semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan itulah para ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu, artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya (Suriasumantri, 1995:233).
Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti teknologi. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana dengan teknologi yang menimbulkan ekses yang negative terhadap masyarakat? Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat:
1. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai. dalam hal ini, ilmuwan hanya menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk hal yang baik maupun buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total.
2. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral dan harus ditujukan untuk kepentingan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan, dengan alasan bahwa ilmu secara faktual telah digunakan secara destruktif oleh manusia,yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan; ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan; dan ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial (Suriasumantri, 1984:235).
Dalam kaitannya dengan kaidah moral,pengembangan ilmu dan teknologi jika mengabaikan nilai-nilai etis maka akan menimbulkan dampak buruk. Penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengintai kenyamanan dan privasi orang lain, penemuan bayi tabung dapat mengancam peradaban perkawinan, maupun contoh lainnya.
C. Aksiologi Sains Islam
Sejak awal kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Wahyu pertama yang diturunkan pada Rasulullah Muhammad adalah "iqra'" atau perintah untuk membaca. Jibril memerintah Muhammad untuk membaca dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, dari kata iqra' inilah, umat Islam diperintah untuk membaca yang kemudian lahir makna untuk memahami, mendalami, menelaah, menyampaikan, maupun mengetahui dengan dilandasi "bismi rabbik", dalam arti, hasil-hasil bacaan dan pemahaman itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan (Shihab, 2001:433). Al Qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum yang seluas-luasnya (Achmadi, 2005:33)
Ilmu pengetahuan dalam sejarah tradisi Islam tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, melainkan pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya.Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh. Eksistensi ilmu pengetahuan bukan saja untuk mendesak pengetahuan, melainkan kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Yang Maha Pencipta. Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteknya, dan agama yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praksisnya atau kemudahan-kemudahan pada material duniawi. Solusi yang diberikan Al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikan dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam, bukan sebaliknya membawa mudharat atau penderitaan (Tafsir, 1997:173). Ilmu tidaklah bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi bukan hanya penggabungan ilmu dan agama saja. Akal digunakan dengan mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan masing-masing. Hal ini akan menimbulkan logika yang menjadikan manusia sebagai seorang intelektual atau ilmuwan. Dalam Islam, ilmu senantiasa didasarkan pada Al Qur'an agar tidak bebas nilai. Nilai dalam Islam tidak berdasarkan sesuatu adat dan budaya tetapi berdasarkan wahyu dan kehendak Allah. Melakukan yg wajib adalah diperintah oleh Allah dan disukaiNya sehingga mendapat ganjaran kebajikan. adapun jika melakukan yang haram dan dibenci oleh Allah maka pantas baginya balasan yang buruk.
Seorang ilmuwan muslim tidak hanya diharapkan berkata benar,namun juga baik,indah dan bernilai, misalnya jika seorang ilmuwan sekuler berkata bahwa untuk bebas dari penyakit kelamin harus memakai kondom jika berhubungan dengan pelacur, maka ilmuwan muslim berkata bahwa berhubungan dengan pelacur itu dilarang dalam islam. Contoh lain dari kebenaran akal yang tidak beretika moral misalnya menceraikan istri yang tidak dapat memberi anak, sistem perang atau jihad yang tidak berperikemanusiaan, menampar murid yang tidak bisa menjawab soal, dan lainnya.
Prinsip-prinsip semua ilmu dipandang oleh kaum muslimin berada dalam Al Qur'an, dan Al Qur'an dan hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan keutamaan menuntut ilmu, dan pencarian ilmu apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid. Dalam perjalanan ilmu dalam dunia Islam, para ilmuwan Muslim berangkat dari membaca Al Qur'an dalam proses penemuannya, misalnya Abu Musa al Jabir ibn Hayyan (721-815), Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (780-850), Tsabit ibn Qurrah (9100), Ibn Sina (926), Al Farabi (950), Ibn Batutah (1304-1377), Ibn Khaldun (1332-1406), dan masih banyak tokoh lainnya (Achmadi, 2005:12).
D. Perbandingan Aksiologi Sains Islam dan Barat
Dalam kaitannya dengan aksiologi, Sains Barat mengakui otonomi ilmu secara murni dengan kebebasan mempelajari ilmu sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan nilai moral, secara garis besar sains Barat terbagi menjadi dua pandangan:
1. Golongan ilmuwan yang menganggap bahwa ilmu haruslah berdiri atas otonominya sendiri, netral, dan tidak terikat pada nilai moral apapun
2. Golongan yang berpendapat bahwa penggunaan ilmu harus tetap berlandaskan pada moral dan etika tanpa merendahkan martabat manusia
Adapun aksiologi sains Islam berpandangan bahwa:
1. Sumber ilmu dan nilai yang utama dalam Islam adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Kedua sumber ini mengajar manusia nilai-nilai etika dan estetika, sosial, keadilan, keikhlasan, kejujuran, kesopanan, kesetiaan, amanah, tanggungjawab dan lainnya
2. Setiap muslim wajib mempelajari Al-Quran dan Al-Sunnah, memahaminya dan merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya
3. Sistem nilai dalam Islam ditetapkan oleh Allah dan dinilai olehNya, setiap muslim terikat dengan nilai ini.
Achmadi. 2008. Filsafat Ilmu.
Jalaluddin & Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan.
Kattstoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materi:Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Shihab, Quraisy, M. 2001. Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudlu’I Atas Bwrbagai Persoalan Umat.
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dapat ditelusuri ke belakang beberapa abad lalu ketika Islam diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Muslim dari Gujarat pada abad ke-13 (
Dalam Sistem Pendidikan Nasional yang tertera pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tercantum bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu upaya untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan adalah melalui pendidikan Agama Islam.
Peran strategis lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan telah menjadi perhatian. Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agama untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, pengembangan lembaga pendidikan Islam diarahkan pada kontribusi lembaga tersebut terhadap pembangunan nasional, salah satunya dengan mengintegrasikan pendidikan agama dalam pendidikan umum kedalam satu system pendidikan nasional.
Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam memiliki peran besar pula dalam perubahan social. Misi pendidikan pada Madrasah yang mengacu pada norma keislaman dan ketentuan nilai harus mampu menjadi sebuah rekonstruksi social yang mengacu pada kaidah al muhafadzah alal qadim as shahih, wal akhdu bil jaded al ashlah.
B. TOPIK PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalahan diantaranya:
1. Bagaimanakah pendidikan Islam madarasah pada masa orde lama?
2. Bagaimanakah pendidikan Islam di madarasah pada masa orde baru?
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH
MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
A. MASA ORDE LAMA
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di
Indonesia memiliki Undang-undang yang mengatur pendidikan setelah lima tahun pasca kemerdekaan, yaitu UU nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang diumumkan 5 April 1950 di Yogyakarta dan dinyatakan berlaku nasional empat tahun berikutnya setelah UU nomor 12 tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UU nomor 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar penyelenggaan pendidikan Islam di Indonesia selama 39 tahun berikutnya (Soebahar, 2005:11). Bersamaan dengan perkembangan pendidikan agama di sekolah umum, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya terjadi sejak Badan Pekerja komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) di masa setelah kemerdekaan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945. Isinya menganjurkan bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar pengajaran di langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan (Depag RI, 2005:62)
Madrasah disini kemudian memiliki konotasi spesifik dimana anak memperoleh pendidikan agama. Perhatian pemerintah terhadap Madrasah terbukti sejak Departemen Agama dalam struktur organisasinya memperuntukkan bagian C bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurus masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren). Namun perhatian pemerintah yang begitu besar di awal kemerdekaan yang dilandasi dengan tugas Departemen Agama dan beberapa keputusan BP KNIP tampaknya tidak berlanjut. hal ini tampak ketika Undang-undang Pendidikan Nasional pertama, yaitu UU nomor 4 tahun 1950 jo UU nomor 12 tahun 1954 diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanyalah masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar, yang berdampak, madrasah dan pesantren dianggap diluar system, padahal, pada tanggal 27 Desember 1945 BP KNIP dalam rapatnya merekomendasikan agar madrasah dan pesantren mendapat perhatian, tuntunan, dan bantuan material dari pemerintah karena madrasah dan pesantren pada hakikatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia. BP KNIP juga memutuskan untuk membentuk komisi khusus dengan tugas merumuskan lebih terperinci mengenai garis besar pendidikan di
1. Pelajaran Agama dalam semua sekolah diberikan pada jam pelajaran sekolah
2. Para guru dibayar oleh pemerintah
3. Pada Seklah Dasar, pendidikan agama diberikan mulai kelas IV
4. Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu
5. Para guru diangkat oleh Departemen Agama
6. Para guru agama diharuskanjuga cakap dalam pendidikan umum
7. Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama
8. Diadakan latihan bagi para guru agama
9. Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki
10. Pengajaran Bahasa Arab tidak dibutuhkan
(Rahim, 2001:53)
Bentuk pertama pembinaan terhadap madrasah dan pesantren setelah Indnesia merdeka adalah sebagaimana ditentukan dalam Permenag Nomor I tahun 1946 tanggal 19 Desember 1946 tentang pemberian bantuan madrasah. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa madrasah adalah tiap-tiap tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan Agama Islam sebagai pokok pengajarannya. Bantuan tersebut diberikan setiap tahun berupa uang dan terbatas untuk beberapa karesidenan di DIY,
1. Madrasah Tingkat Rendah dengan lama belajar sekurang-kurangnya 4 tahun dan berumur 6 sampai 15 tahun
2. Madrasah Lanjutan dengan masa belajar sekurang-kurangnya 3 tahun setelah taman Madrasah Tingkat Rendah dan berumur 11 tahun keatas.
Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama nomor 7 tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah RI. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa jenjang pendidikan madrasah adalah:
1. Madrasah Rendah (sekarang Madrasah Ibtidaiyah) dengan masa 6 tahun
2. Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama Osekarang Madrasah Tsanawiyah) lama belajar 3 tahun setelah tamat MI
3. Madrasah Lanjutan Atas (sekarang Madrasah Aliyah) lama belajar 3 tahun setelah tamat MTs (Rahim, 2001:54)
Lebih lanjut Rahim menjelaskan:
”Prestasi besar yang pernah dilaksanakan Departemen Agama dalam penyelenggaraan madrasah adalam mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah ini mencoba menjabarkan ide dalam UU nomor 4 tahun 1950 pasal 10 ayat 2 yang berbunyi "belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar...". MWB mulai diperkenalkan pada tahun ajaran 1958/1959. Dalam MWB siswa tidak hanya dididik pengetahuan umum dan agama,tetapi juga keterampilan untuk mendukung kesiapan anak didik untuk berproduksi atau bertransmigrasi dengan swadaya dan keterampilan yang diperoleh di MWB. Lama belajar MWB 8 tahun. Namun sayang,pada tahun 1970 MWB terhenti terutama setelah bantuan untuk madrasah berangsur-angsur berkurang (2001:58).
Selain madrasah, di lingkungan Departemen Agama juga didirikan Sekolah Dinas untuk memenuhi dan merealisasikan rekomendasi BP KNIP dan Panitia Penyelidik Pengajaran mengenai pendidikan agama di sekolah umum. Dorongan itu makin mendesak setelaah ditetapkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan nomor 1142/bhg. A (pengajaran) tanggal 2 Desember 1946 dan nomor 12857/KJ (agama) tanggal 12 Desember 1946 yang menetapkan adanya pengajaran agama di sekolah Rakyat Negeri yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1947.
Kewajiban menyiapkan guru agama untuk sekolah negeri inilah yang mendorong Departemen Agama mengambil langkah penyiapan, diantaranya:
1. Jangka pendek, yaitu menyelenggarakan kursus singkat calon guru agama selama 2 minggu, dan menyelenggarakan ujian calon guru agama untuk sekolah rakyat berdasarkan Peraturan Menteri Agama nomor 3 tahun 1951.
2. Jangka panjang, yaitu membuka pendidikan khusus untuk menyiapkan calon guru agama. Pada tanggal 16 Mei 1948 di Solo didirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHAI)
Dalam penyiapan calon guru agama dan hakim agama, Drs. Sigit, Kepala Jawatan Agama RI (1950-1952) merencanakan program:
1. Pembukaan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) SGAI pada tahun 1950 diubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA)
2. Pembukaan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI)
(Rahim,2001:63)
B. MASA ORDE BARU
Terminologi “modernisasi madrasah” mulai menguat saat orde baru melancarkan manuver-manuver politik pendidikannya, baik melalui jalan frmalisasi yaitu usaha penegerian madrasah, maupun melalui jalan strukturisasi, yaitu perjenjangan madrasah dengan mengacu pada aturan Departemen pendidikan (
Pendidikan Islam kala itu masih tersisih dari system Pendidikan Nasional. Keadaan ini berlangsung sampai dikeluarkannya SKB 3 menteri tanggal 24 Maret 1975 yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan Nasional. SKB ini mencoba meregulasi madrasah secara integral komprehensip. Era ini dikenal dengan era baru madrasah yang ditandai dengan efektifnya pembenahan madrasah di tahun-tahun berikutnya dengan porsi kurikulum pendidikan umum 70% dan pendidikan agama 30% (Depag RI, 2005:6). Terbitnya SKB ini bertujuan antara lain untuk meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya untuk bidang non agama. Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena ijazahnya dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan sederajat; lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi; dan siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat, serta membuka peluang siswanya memasuki peluang wilayah pekerjaan modern (Nizar, 2007:294).
Lebih lanjut Nizar menjelaskan, dengan adanya SKB tersebut, madrasah memperoleh definisi yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada di bawah naungan Departemen Agama. Pada perkembangan selanjutnya, di akhir dekade 1980-an, dunia pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang makin menempatkan eksistensi madrasah sebagai lembaga yang bercirikan Islam, dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum Madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran Agama Islam sebanyak 7 mata pelajaran. Secara perasional, integrasi Madrasah ke dalam system Pendidikan Nasional ini dikuatkan dengan PP Nomor 28 tahun 1990 dan SK Meteri Pendidikan Nasional Nomor 0478/U/1992 dan nomor 054/U/1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD/SMP. Keputusan-keputusan ini ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama nomor 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sedangkan tentang MA diperkuat dengan PP nomor 29 tahun 1990, SK Mendiknas nomor 0489/U/1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menteri Agama nmor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada lagi perbedaan antara MI, MTs, MA dengan SD, SMP, dan SMA selain cirri khas agama Islamnya (
Berikut ini beberapa pengembangan madrasah yang dilakukan oleh Departemen Agama dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, untuk meningkatkan mutu lulusan agar memiliki kompetensi yang dapat diterima oleh masyarakat (Depag RI, 2005:8-10)
1. Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK)
Prof. Munawir Sadzali ketika menjadi Menteri Agama periode tahun 1983-1993 mengintrodusir_sebagai solusi terhadap apa yang disebutnya sebagai ‘krisis ulama’ mendirikan Madrasah Aliyah Program Keagamaan. Lahirnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 371 tahun 1984 tentang Pengembangan Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK) dari Madrasah Aliyah regular pada hakikatnya adalah merupakan substansi kembalinya Madrasah Aliyah pada jati dirinya dalam membekali dan memperkuat para siswa untuk mempelajari bahasa terutama Bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama secara lebih komprehensip dengan system boarding school. Penyederhanaan terhadap MAPK menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 371 tahun 1993. Program Keagamaan ini menjadi salah satu jurusan yang ada pada Madrasah Aliyah tertentu.
2. Madrasah Aliyah Program Keterampilan
Madrasah Aliyah Program Keterampilan bukan suatu lembaga pendidikan yang berdiri sendiri melainkan dikembangkan oleh Madrasah Aliyah tertentu. Madrasah Aliyah Program Keterampilan mulai dicanangkan pada tahun 1988/1989 berdasar Piagam Kerja Sama Departemen Agama dengan United Nation Development Program (UNDP) Nomor INS/85/036/A/01/13, tanggal 14 Desember 1987. Keterampilan yang diujicobakan adalah keterampilan otomotif, keterampilan elektronika, dan keterampilan tata busana. Madrasah Aliyah Program Keterampilan ini pertama kali diadakan di empat tempat, yaitu pada MAN Garut, MAN Kendal, MAN Jember dan MAN Bukittinggi.
3. Madrasah Model
Pada tahun 1993, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Model mulai dipopulerkan dengan mendirikan sebanyak 54 MTs. Pada tahun 1997, Madrasah Model dikembangkan pula pada Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Aliyah dengan jumlah MI Model sebanyak 44 madrasah, MTs Model 69 Madrasah, dan MA Model sebanyak 35 madrasah.
4. Madrasah Tsanawiyah Terbuka
Madrasah Tsanawiyah Terbuka dimulai pada tahun ajaran 1996/1997 sebagai respons kebijakan pemerintah tentang penuntasan percepatan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (wajar dikdas 9 tahun). Operasionalisasi Madrasah Tsanawiyah Terbuka dilakukan oleh Departemen Agama bekerjasama dengan Pusat Teknologi Komunikasi Departemen Pendidikan Nasional. Madrasah Tsanawiyah Terbuka diselenggarakan di Pondok-pondok Pesantren Salafiyah. Tujuan diselenggarakannya MTs Terbuka adalah untuk memberikan kesempatan belajar seluas-luasnya terhadap masyarakat khususnya para kaum santri yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena factor ekonomi, geografis atau faktor lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pertumbuhan pendidikan keagamaan di
Departemen Agama banyak meregulasi madrasah khusunya dengan memberikan bantuan dana dan menetapkan perjenjangan madrasah serta menyelenggarakan Madrasah Wajib Belajar dan Sekolah Dinas untuk guru agama.
Pada masa orde baru, sejak dikeluarkannya SKB 3 menteri tanggal 24 Maret 1975, madrasah semakin menemukan eksistensinya yang ditandai dengan efektifnya pembenahan madrasah di tahun-tahun berikutnya dengan porsi kurikulum pendidikan umum 70% dan pendidikan agama 30%. pada akhir decade 1980-an, dunia pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang makin menempatkan eksistensi madrasah sebagai lembaga yang bercirikan Islam
B. SARAN
Sebagai pihak-pihak yang peduli terhadap perkembangan madrasah, hendaknya kita senantiasa memberikan perhatian besar terhadap pendidikan Islam terutama perkembangan Madrasah, baik itu dengan menyumbangkan ide-ide yang konstruktif untuk kemajuan Madrasah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2004. Madrasah Aliyah Kejuruan, Arah dan Prospek Pengembangan. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2005. Desain Pengembangan Madrasah.. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2005. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru). Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2005. Profil Madrasah Aliyah. Jakarta: Bagian Data dan Informasi Pendiikan Dirjen Bagais
__________________. 2005. Profil Madrasah Tsanawiyah.. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2005. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
__________________. 2006. Undang-undang Republik Indnesia tentang Guru dan Dosen, serta Undang-undang Republik Indnesia tentang SISDIKNAS. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
Nata, Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nizar, Samsul.2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos
Soebahar, Abdul Halim. 2005. Matriks Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Marwa